Info tentang pengetahuan ilmu Sastra Indonesia, Inggris, Arab, serta Budaya bangsa dan Usaha Ekonomi Masyarakat

Nilai yang Terkandung dalam Syair Tombo Ati dan Tujuh Ajaran Sunan Drajat

Unknown


Nilai yang Terkandung dalam Syair Tombo Ati dan Tujuh Ajaran Sunan Drajat



PENDAHULUAN


Berbicara masalah perkembangan Islam di Indonesia menengok kembali uraian yang telah dipaparkan Clifford Geertz. Ia membagi Islam di Jawa menjadi tiga, yaitu Abangan, Santri, dan Priyayi. Tradisi sosio-kultural santri ditandai dengan ketaatannya menjalankan ibadah agama Islam sesuai dengan syariat agama. Sementara tradisi abangan ditandai dengan orientasi sosio-kultural yang berakar pada tradisi mistisisme pra-hindu, dan tradisi priyayi ditandai dengan orientasi kehidupan yang berakar pada tradisi aristokrasi Hindu-Jawa.
Tetapi, dari tahun ke tahun pemabagian ini mengalami pergeseran. Islam tidak lagi terbagi menjadi tiga bentuk melainkan terbelah menjadi dua, yaitu Islam Pesisiran dan Islam Pedalaman. Dua “wajah” Islam ini membentuk kebudayaan masing-masing yang menjadi ciri khas pembeda. Islam pesisiran menyebut dirinya adalah golongan putih sedangkan Islam pedalaman yang meneguhkan Islam bukanlah hal yang hanya berbau arab, melainkan Islam bercorak budaya Jawa.

Melihat jauh kebelakang, bahwa sebelum Islam menjadi besar pada masa kekuasaan Majapahit, Islam telah menjadi pembeda secara budaya. Pembedaan budaya sebagai lawan dari budaya yang ada sebelumnya, yaitu budaya Hindu dan Budha. Sedangkan untuk daerahnya mereka memilih pesisaran pantai utara seperti Gresik, Tuban, dan Surabaya. Pemilihan daerah pesisiran bukannya tanpa alasan karena di daerah itu banyak sekali saudagar yang beragama Islam sehingga mereka akan lebih mudah untuk berinteraksi sambil menjaga “keputihannya”.
Dikotomi ini semakin kuat tatkala sesama putra terbaik Islam saling memperebutkan kekuasaan di daerah Pajang (sekarang Jawa Tengah).

Tepatnya ketika Arya Penangsang (Adipati Jipang) berhadapan dengan Jaka Tingkir (Pajang). Peperangan tersebut akhirnya dimenangkan oleh Jaka Tingkir. Kekalahan Arya Penangsang membuat para pendukungnya tidak mau tunduk kepada Jaka Tingkir. Mereka tetap menjadi oposan dari kekuasaan Jaka Tingkir.

Jaka Tingkir yang telah menjadi pucuk pimpinan segera memindahkan kekuasaannya dari Pajang ke Mataram. Hal ini dilakukan untuk menghindari risiko lebih jauh. Jika letak kekuasaan di daerah pesisiran maka akan terus terjadi konflik karena daerah pesisiran merupakan daerah yang lebih maju pada waktu itu daripada daerah pedalaman.

Untuk meneguhkan kekuasaannya, Jaka Tingkir membuat aturan-aturan dalam kehidupan sehari-hari. Ia menciptakan bahasa khusus keratonan. Bahasa ini yang selanjutnya disebut dengan bahasa Krama. Aturan ini sama sekali berbeda dengan bahasa sebelumnya yang tanpa tingkatan. Sedangkan di daerah pesisiran tetap mempertahankan diri dengan penggunaan bahasa tanpa adanya unda usuk. Bahasa daerah pesisiran tetap egaliter tanpa ada tingkatan bahasa ini kita kenal dengan bahasa Ngoko.


PEMBAHASAN

Bahasa ngoko ini merupakan bahasa yang mudah dipahami karena tidak mengandung aturan baku dalam penggunaannya. Orang besar-kecil, pedagang-petani, kyai-santri bebas bercengkrama. Bahasa ini merupakan cermin budaya yang egaliter.

Para ulama dengan kecerdikannya mengolah bahasa ini dalam pembuatan tembang maupun pujian. Selanjutnya tembang dan pujian ini digunakan untuk menyebarkan agama Islam. Sebelumnya orang Jawa yang suka nembang akan tetap nembang walaupun tembangnya sudah banyak yang bernafaskan Islam. Hal ini yang membuat Islam mudah diterima di masyarakat.

Adapun salah satu bentuk pujian tersebut, yaitu:
Allahumma sholli wa sallim ‘ala Sayyidina wa maulana Muhammadin
Adadama fi’ilmillahi sholatan daimatan bida’wami mulkillahi 
Tombo ati iku limo sakwernane 
Moco quran kenekno (angen-angen) sakmaknane
Kaping pindo sholat wengi lakonono
Kaping telu wong kang soleh kumpulono
Kaping papat kudu weteng ingkang luwe
Kaping limo dzikir dalu ingkang suwe
Salah suwijine perkoro limo biso ngelakoni
Insya Allah gusti Allah nyembadani (ngijabahi)

Pegeaud dalam Wahyuningsih Dkk mengatakan bahwa karya sastra klasik mengandung isi atau makna relatif luas meliputi bidang agama dan etik, sejarah dan mitologi, sastra, seni, hukum, ilmu masyarakat, cerita rakyat, adat istiadat, dan serba-serbi. Ada tujuh ajaran Sunan Derajat yang tetap dijunjung tinggi oleh masyarakat setempat. Inti ajaran tersebut adalah

1. Memangun Resep Diasing Sasomo (kita selalu membuat senang hati orang lain)
2. Jeroning Suko Kudu Eling lan Waspodo (dalam suasana siang kita harus tetap ingat dan waspada)
3. Laksitaning Subroto tan Nyipto Marang Pringgobayaning Lampah (dalam perjalanan dalam mencapai cita-cita luhur kita tidak peduli dengan segala bentuk rintangan
4. Memperhardaning Ponco Driyo (kita harus selalu menekan gelora nafsu-nafsu)
5. Hening Heneng, Hening Henung (heneng dalam keadaan diam kita akan memperoleh keheningan, dalam keadaan hening kita akan mencapai cita-cita luhur)
6. Mulyoguno Poncowektu (kebahagian lahir batin akan dapat dicapai dengan sholat lima waktu)
7. - Wenehono teken marang wong kang wuto
- Wenehono mangan marang wong kang keluwen
- Wenehono klambi marang wong kang kawudan, lan
- Wenehono payung marang wong kaudanan
.
 
Sekilas memang ada perbedaan antara tujuh ajaran yang diwariskan oleh sunan Derajat. Tetapi jika kita tengok lebih jauh antara syair tombo ati dan ajaran sunan Derajat terdapat persamaan yang mendasar. Hal utama yang digarap para penyebar agama Islam adalah kebersihan hati. Dengan hati yang suci dan bersih seseorang akan dapat menetramkan hati orang lain. Modal kebersihan hati inilah manusia akan dapat mengarungi kehidupan dunia.

Sastra identik dengan pesan-pesan moral di dalamnya baik itu yang berupa karya sastra bentuk tulisan maupun bentuk lisan. Sampai saat ini masih belum ada teori yang dapat dipegang kebenarannya dalam menentukan dahulu mana antara sastra lisan ataun sastra tulis. Nilai-nilai yang terkadung di dalam syair tombo ati dan tujuh ajaran yang diwariskan sunan Drajat ini merupakan ajaran-ajaran yang meliputi ajaran tentang etika, nilai agama dan sosial kemasyarakatan.

Nilai etika
Kata Etika berasal dari bahasa Yunani yaitu ethos maknanya adalah “kebiasaan atau adat”. Dalam bahasa Indonesia, etika identik dengan moral. Etika dan moral memiliki perbedaan tetapi skalanya relatif kecil. Moral memiliki pengertian yang lebih dangkal dibanding etika, karena hanya menyinggung perbuatan seseorang dari segi luarnya saja. Sedangkan etika sudah menyentuh sampai kaidah dan motif perbuatan seseorang yang lebih dalam (Wiraatmaja dalam Wahyuningsih, 1998:171).

Penuturan etika menurut G. Puja adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tata nilai baik-buruk suatu perbuatan apa yang harus dihindari dan apa yang boleh dikerjakan, sehingga terciptanya suatu tatanan hubungan manusia dalam masyarakat yang dianggap baik, serasi rukun, dan bermanfaat bagi orang itu, masyarakat, lingkungan, dan alam sekitarnya (idem). Dengan demikian etika di sini diartikan dengan susila. Tata susila bertujuan untuk membina hubungan selaras antara seseorang dengan hidup di sekitarnya.

Berdasarkan pandangan di atas dapat diketahui betapa luasnya lingkup pengertian etika atau tata susila ini, karena terkait dengan kehidupan manusia dari berbagai dimensi, termasuk di dalamnya dimensi ruang dan waktu. Etika atau tata susila sebagai ilmu pengetahua yang mengatur dan membina keselarahan hubungan antara manusia dengan manusia, antara manusia dengan tuhan, antara manusia dengan lingkungannya.

Syair Tombo Ati apabila disimak terdapat ajaran tentang etik hampir di seluruh syairnya. Kalimat kedua sampai ketujuh memuat etika bermasyarakat agar selaras. Bila seseorang membaca Alquran dengan merenungkan maknanya maka orang itu akan dapat memahami kehidupan ini sehingga dalam setiap kelakuannya akan berdasarkan aturan dan informasi yang ada di dalam Alquran. Arti kenekno di sini yaitu menghayati ciptaan Tuhan yang tersebar di seluruh jagat raya ini.
Kalimat ketiga dan keempat lebih nyata menyentuh kehidupan masyarakat. Anjuran untuk selalu bergaul dengan orang sholeh sangat ditekankan. Karena lewat pertemanan kepribadian seseorang akan terbentuk. Seorang teman bisa menjadi orang yang sangat dekat melebihi seorang saudara sekalipun. Menyangkut hal ini pernah seorang cerdik mengatakan “jika kamu ingin mengetahui seseorang itu baik atau buruk, maka lihatlah siapa temannya”. Dengan berteman dengan orang sholah, seseorang akan dapat mengetahui baik-buruknya perbuatan dalam masyarakat sehingga dalam perajalanan hidupnya ia akan tetap terjaga.

Kalimat keempat seseorang akan belajar tentang susahnya hidup dalam kekurangan. Hal ini juga sesuai dengan tembang kinanthi yang ada dalam serat Sri Gandana bait 38 “Dasar dari pikiran yang baik, bukan karana kaya atau miskin, meskipun manusia yang miskin, apabila hatinya baik, tidak bertindak hina, pastilah dihormati orang”. Hidup miskin adalah salah satu pilihan ulama dahulu maupun sekarang dalam menjalani hidupnya. Dengan selalu terjaga perutnya seseorang akan lebih jelas dan terang dalam memandang persoalan. Hal seperti ini juga pernah dilakukan oleh sahabat nabi Abu Dzar Alghiffari. Hingga akhir hidupnya ia selalu menjaga dirinya dari rasa kenyang karena hal itulah ia diyakini sebagai pencetus kehidupan sufi.

Nilai Religius
Kata agama berasal dari dari kata kerja bahasa sanskerta yang terdiri dari kata “gam” yang berarti pergi. Kata ini mendapatkan prefiks “A” yang berarti ingkar atau kebalikan dari kata dasar dari arti “pergi” menjadi “datang”. Mendapat suffiks “A” merubah menjadi “kedatangan”(punyatmaja dalam Wahyuningsih, 1998:177). Kedatangan yang dimaksudkan adalah datangnya utusan sebagai pengajar kebaikan dan penyebar wahyu ketuhanan.

Menurut Shcarf, 1995 dalam Bagong Suyanto,ed. membagi kajian agama menjadi dua dimensi, yakni teologis dan sosiologis. Dalam corak teologis berangkat dari adalanya klaim tentang kebenaran mutlak ajaran suatu agama. Doktrin-doktrin keagamaan yang diyakini berasal dari tuhan, kebenarannya juga diakui berada di luar jangkauan kemampuan manusia. Sedangkan dimensi sosiologis melihat agama sebagai salah satu dari institusi sosial, sebagai subsistem dari sistem sosial yang mempunyai fungsi sosial tertentu, misalnya sebagai pranata sosial.

Agama secara umum dapat didefinisikan sebagai seperangkat aturan dan peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan dunia gaib - khususnya dengan tuhannya -. Dalam definisi tersebut, sebenarnya, agama dilihat sebagai teks atau doktrin sehingga keterlibatan manusia sebagai pendukung atau penganut agama tersebtu tidak tampak tercakup di dalamnya (Robertson dalam Bagong Suyanto, ed 2004:229).

Bagi para penganutnya, agama berisikan ajaran-ajaran mengenai kebenaran tertinggi dan mutlak tentang eksistensi manusia dan petunjuk-petunjuk untuk hidup selamat di dunia dan akhirat, yaitu sebagai manusia yang takwa kepada tuhannya, beradab dan manusiawi. Karena itu juga, keyakinan tentang keagamaan dapat dilihat sebagai berorientasi pada masa yang akan datang. Hal ini dapat diketahui dalam kalimat syair ketiga dan kelima.

Sholat fardu lakonono dan dzikir dalu ingkang suwe. Kenapa harus sholat fardu dan bedzikir? Sholat adalah salah satu cara mengingat Tuhan begitu juga dengan berdzikir. Dengan mengingat tuhan seseorang akan senantiasa takut untuk berbuat sesuatu yang dapat membuat Tuhan-nya jauh darinya. Walaupun dua hal ini tidak dapat dirasakan secara langsung akibatnya, tetapi manusia tetap menjalankannya. Di sinilah letak doktrin keagamaaan dalam teori yang telah tertulis di depan.

Hal ini sama dengan ajaran sunan Derajat pada nomer enam. Inti kebahagiaan seseorang akan terletak pada sholat yang ia lakukan sebanyak lima waktu. Dengan ditambah waspada dan ketenangan seseorang akan sempurna di dalam menjalankan kehidupan di dunia.

Nilai sosial Sosiologi adalah telaah yang obyektif dan ilmiah tentang manusia dalam masyarakat; telaah tentang lembaga dan proses sosial (Damono, 1978:6). Dengan mempelajari sosiologi kita akan mendapatkan gambaran tentang cara-cara manusia menyesuaikan diri dengan lingkungannya, tentang mekanisme sosialisasi, proses pembudayaan yang menempatkan anggota masyarakat di tempatnya masing-masing.

Seperti halnya sosiologi, sastra berurusan dengan manusiadalam masyarakat; usaha manusia untuk menyesuaikan diri dan usahanya mengubah masyarakat. Pandangan ini beranggapan bahwa sastra merupakan cermin langsung ari pelbagai segi struktur sosial, hubungan kekeluargaan, pertentangan kelas, dan lain-lain (Damono, 1978:9).

Suatu yang khas dalam masyarakat manusia adalah dikenal dan digunakannya sistem komunikasi simbolik antara para warga masyarakat. Di dalam masyarakat manusia selalu ada yang dinamakan double reality (Suyanto. Ed, 2004:22). Di satu pihak ada sistem fakta, yaitu suatu sistem yang tersusun atas segala apa yang senyatanya di dalam kenyataan ada, dan di lain pihak ada yang naman sistem normatif, yaitu sistem yang berada di dalam mental yang membayangkan segala apa yang seharusnya ada. Hal ini tersusun dalam bait berikut ini

Bagus temen wong kang urip sing biso ngaji
Tembi akhire biso mulyo lan biso muji
Rino lan wengi lamun eleng kang moho suci
Nok akhirat suwargo widodari


Secara normatif seharusnya semua manusia dapat “mengaji” khususnya umat Islam. Orang yang bisa mengaji ia akan hidup mulya dan punya pengaruh di masyarakat. Apalagi jika ia setiap saat ingat akan penciptanya. Dilihat dari adanya bait ini mencerminkan masyarakat pada waktu itu tidak jauh bedanya dengan
sekarang. Dahulu juga banyak orang Islam yang jauh dari akarnya, banyak berbuat dosa dan kesalahan.

Lamolane wong kang urip sing ati-ati
Lamolane wong kang urip sing wajib tobat
Mumpung iseh lawang tobat iku mengo
Yen wis tutup bakal susah awak iro


Ajaran sunan Derajat yang pertama selalu mengutamakan orang lain. Ajaran in sangat cocok dengan ajaran nabi Muhammad, yaitu khairunnas anfauhum linnas (sebaik-baiknya manusia adalah yang beranfaat bagi manusia lain). Ajaran sunan Derajat ditutup dengan empat hal yang sangat manusiawi, yaitu:
-Wenehono teken marang wong kang wuto
- Wenehono mangan marang wong kang keluwen
- Wenehono klambi marang wong kang kawudan, lan
- Wenehono payung marang wong kaudanan.


Dengan adanya syair pujian ini, para ulama memimpikan masyarakatnya dapat menjalani kehidupan yang ideal, yaitu manusia yang hidup selaras dengan manusia lain tetapi tidak melupakan kewajibannya sebagai mahluk yang “memiliki” kewajiban kepada Tuhan. Manusia yang selalu mawas diri terhadap kehidupan dunia dan selalu mengharapkan keridlaan Allah dalam setiap langkah kehidupannya.


KESIMPULAN
Meskipun adanya perbedaan antara tujuh ajaran yang diwariskan oleh sunan Derajat dan Syair Tombo ati. Namun jika kita tengok lebih jauh antara syair tombo ati dan ajaran sunan Derajat terdapat persamaan yang mendasar. Hal utama yang digarap para penyebar agama Islam adalah kebersihan hati. Dengan hati yang suci dan bersih seseorang akan dapat menetramkan hati orang lain. Modal kebersihan hati inilah manusia akan dapat mengarungi kehidupan dunia.

Nilai-nilai yang terkandung dalam syair tombo ati da tujuh ajaran sunan drajat identik dengan pesan-pesan moral di dalamnya baik itu yang berupa karya sastra bentuk tulisan maupun bentuk lisan. Sampai saat ini masih belum ada teori yang dapat dipegang kebenarannya dalam menentukan dahulu mana antara sastra lisan ataun sastra tulis. Nilai-nilai yang terkadung di dalam syair tombo ati ini merupakan ajaran-ajaran yang meliputi ajaran tentang etika, nilai agama dan sosial kemasyarakataan.


Daftar Pustaka Damono, Sapardi Djoko. 1978. Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembagnan Bahasa
Suyanto, Bagong dan Dwi Narwoko. 2004. Sosiologi: Teks Pengantar dan Terapan. Jakarta: Prenada Media
Wahyuningsih dkk. 1998. Kajian Nilai Budaya Naskah Kuna Sri Gandana. Jakarta: Pialamas Permai
Yos Rizal. Kesusasteraan Islam Pesisir dan Kejawen di Indonesia: Perkembangan Sastra Progresif dan Ekspresif dalam Islam.


0 comments:

Post a Comment