Info tentang pengetahuan ilmu Sastra Indonesia, Inggris, Arab, serta Budaya bangsa dan Usaha Ekonomi Masyarakat

Analisis Gaya Bahasa Berdasarkan Teori Sintaksis

Unknown

Analisis Gaya Bahasa Berdasarkan Teori Sintaksis - Sajak memerlukan kepadatan dan ekspresivitas, karena sajak itu hanya mengemukakan inti masalah atau inti pengalaman. Oleh karena itu, terjadi pemadatan, hanya yang perlu-perlu saja dinyatakan, maka hubungan kalimat-kalimatnya implisit, hanya tersirat saja. Hal ini tampak dalam baris-baris atau kalimat-kalimat dalam bait pertama (dan bait-bait lainnya). Jadi, gaya kalimat demikian dapat disebut gaya implisit, seperti tampak dalam wujud baris ke-3 dan ke-4 dalam bait pertama. Di antaranya dapat disisipkan kata penghubung untuk memperjelas. Diperhatikan berikut ini.

Analisis Gaya Bahasa Berdasarkan Teori Sintaksis

1. Gaya Bahasa dalam Kata

Untuk menghidupkan lukisan dan memberikan gambaran yang jelas, dalam sajak ini banyak dipergunakan bahasa kiasan. Bahasa kiasan ini menyatakan suatu hal secara tidak langsung. Ekspresi secara tidak langsung ini merupakan konvensi sastra, khususnya puisi seperti yang dikemukakan oleh Riffaterre (1978), bahwa ucapan tidak langsung itu disebabkan oleh tiga hal: pemindahan atau pergantian arti, penyimpangan atau pemoncongan arti, dan penciptaan arti.


Pemindahan arti (displacing of meaning) berupa penggunaan metafora dan metinimi. Istilah metafora seringkali untuk menyebut arti kiasan pada umumnya meskipun, metafora itu sesungguhnya merupakan salah satu ragam bahasa kiasan. Penyimpangan atau pemoncongan arti (distoring of meaning) disebabkan oleh ambiguitas, kontadiksi, dan nonsense. Penciptaan arti disebabkan oleh penggunaan bentuk visual: pembaitan, enyambemen, persajakan, persejajaran bentuk (homologue), dan bentuk visual lainnya.


Ungkapan tak langsung dalam sajak ini yang sangat penting terutama bahasa kiasan (penggantian arti: metafora dan metonimi dan ambiguitas). Demikian pula, untuk menghidupkan lukisan dalam sajak ini dipergunakan ucapan tak langsung dengan citraan (imagery).


3. Analisis Struktural dan Semiotik


Sebuah sajak merupakan kesatuan yang utuh. Dengan demikian, tidak cukupkah bilaunsur-unsurnya dibicarakan terpisah-pisah. Oleh karena itu analisis struktural dan semiotik dianalisis/dilihat hubungan keseluruhannya dalam sebuah sajak yang utuh. Hal ini disebabkan norma-norma sajak itu saling berhubungan erat, saling menentukan maknanya.


Dalam pengertian struktur (Piaget via Hawkes, 1978) melihat adanya rangkaian kesatuan yang meliputi tiga ide dasar, iaitu kesatuan, dan ide pengaturan diri sendiri (elf-regulation).


Ide kesatuan, maksudnya struktur itu merupakan keseluruhan yang bulat, iaitu bagian-bagian yang membentuknya tidak dapat berdiri sendiri di luar struktur itu. Ide kesatuan, maksudnya, struktur itu berisi gagasan transformasi dalam arti bahwa struktur itu tidak statis. Struktur itu mampu melakukan prosedur-prosedur transformasional, dalam arti bahan-bahan baru diproses dan melalui prosedur itu. Misalnya struktur Ia memetik bunga. Strukturnya: subjek, predikat, dan objek. Dari struktur itu dapat diproses: saya (Ali, Ahmad, Tini) memetik bunga dapat diproses dengan struktur: ia memetik buah (jambu, rambutan, jeruk), atau. Ia merangkai (memasang, memotong, menanam) bunga; dan seterusnya. Ide diri sendiri, maksudnya struktur itu mengatur diri sendiri, dalam arti struktur itu tidak memerlukan pertolongan/bantuan dari luar dirinya untuk mensahkan prosedur transformasinya. Misalnya dalam proses menyusun kalimat: Saya memetik bunga, tidaklah diperlukan keterangan dari dunia nyata, melainkan ia diproses atas dasar aturan di dalamnya dan yang mencukupi dirinya sendiri. Maksudnya setiap unsur mempunyai fungsi tertentu berdasarkan letaknya dalam struktur itu.


Menurut pikiran strukturalisme dunia (karya sastra merupakan dunia yang diciptakan pengarang) lebih merupakan susunan hubungan daripada susunan benda-benda. Oleh karena itu, kodrat tiap unsur dalam struktur itu tidak mempunyai makna dengan sendirinya, melainkan maknanya ditentukan oleh hubungannya dengan semua unsur lainnya yang terkandung dalam struktur itu (Hawkes, 1978).


Dengan demikian, analisis struktural sajak adalah analisis sajak ke dalam unsur-unsurnya dan fungsinya dalam struktur sajak dan penguraian bahwa tiap unsur itu mempunyai makna hanya dalam kaitannya dengan unsur-unsur lainnya, bahkan juga berdasarkan tempatnya dalam struktur (Pradopo, 2005).


Bahasa sebagai medium karya sastra merupakan sistem semiotik atau ketandaan, iaitu sistem ketandaan yang mempunyai arti. Medium karya sastra bukanlah bahan yang bebas seperti bunyia pada seni musik ataupun warna pada lukisan. Kata-kata atau bahasa sebelum dipergunakan dalam karya sastra sudah merupakan lambang yang mempunyai arti yang ditentukan oleh perjanjian masyarakat (konvensi) masyarakat. Bahasa merupakan sistem ketandaan yang berdasarkan oleh konvensi masyarakat. . Sistem ketandaan itu disebut semiotika atau semiologi.


Dalam pengertian tanda ada dua prinsip, iaitu penanda (signifier) atau yang menandai yang merupakan bentuk tanda, dan petanda (signified) atau yang ditandai, yang merupakan arti tanda. Berdasarkan hubungan antara penanda dan petanda ada tiga jenis tanda yang pokok, iaitu ikon, indeks, dan simbol.


Ikon adalah tanda hubungan antara penanda dan petanda bersifat bersamaan bentuk alamiah, misalnya gambar kuda menandai kuda yang nyata. Indeks, adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan alamiah antara tanda dan petanda yang bersifat kausal ada hubungan sebab akibat. Misalnya asap menandai api. Simbol, adalah tanda yang tidak menunjukkan hubungan alamiah antara penanda dan petandanya. Hubungan antaranya bersifat arbitrer atau semau-maunya, hubungannya berdasarkan konvensi masyarakat.


Memahami sajak (puisi) tidak lain dari memahami makna sajak. Menganalisis sajak adalah usaha memahami makna sajak. Makna sajak adalah arti yang timbul oleh bahasa yang disusun berdasarkan struktur sastra menurut konvensinya, iaitu arti yang bukan hanya arti bahasa, melainkan berisi arti tambahan berdasarkan konvensi sastra yang bersangkutan. Menurut Preminger, 1974) mengemukakan bahwa kritikus menyendirikan satuan-satuan berfungsi dan konvensi-konvensi sastra yang berlaku. Satuan –satuan berfungsi itu misalnya; alur, latar, penokohan, satuan-satuan bunyi, kelompok kata, gaya bahasa, satuan visual seperti tipografi, enyambemen, satuan baris (bait), dan sebagainya. Di samping itu masih ada konvensi tambahan. Konvensi tambahan itu antara lain: perulangan, persajakan, , pembagian baris sajak, makna kiasan karena konteks dalam struktur, yang semuanya itu menimbulkan makna dalam karya sasra. Dengan demikian, maka dalam menganalisis sajak terutama dicari tanda-tanda kebahasaan kemudian dianalisis tanda-tanda tambahan yang lain yang merupakan konvensi tambahan dalam puisi.

0 comments:

Post a Comment