Info tentang pengetahuan ilmu Sastra Indonesia, Inggris, Arab, serta Budaya bangsa dan Usaha Ekonomi Masyarakat

Teori Kritik Sastra Dengan Pendekatan Feminis

Unknown

Teori Kritik Sastra Dengan Pendekatan Feminis - Bicara tentang feminis, maka bicara tentang perempuan, perempuan dan feminis dua hal yang tak pernah terpisahkan untuk saat ini. Feminis menurut Nyoman Kutha Ratna (2005: 226) berasal dari kata femme yang berarti perempuan. Sugihastuti (2002:18) berpendapat bahwa feminisme adalah gerakan persamaan antara laki-laki dan perempuan di segala bidang baik politik, ekonomi, pendidikan, sosial dan kegiatan terorganisasi yang mempertahankan hak-hak serta kepentingan perempuan. Feminisme juga menurut Sugihastuti merupakan kesadaran akan penindasan dan pemerasan terhadap perempuan dalam masyarakat, baik di tempat kerja dan rumah tangga.
Teori Kritik Sastra Dengan Pendekatan Feminis

Feminisme berbeda dengan emansipasi, Sofia dan Sugihastuti (dalam Sugihastuti dan Itsna Hadi Saptiawan, 2007: 95) menjelaskan bahwa emansipasi lebih menekankan pada partisipasi perempuan dalam pembangunan tanpa mempersoalkan hak serta kepentingan mereka yang dinilai tidak adil, sedangkan feminisme memandang perempuan memiliki aktivitas dan inisiatif sendiri untuk mempergukan hak dan kepentingan tersebut dalam berbagai gerakan.

Kritik sastra feminis sebuah pengantar. Sholwalter (dalam Sugihastuti dan Suharto, 2005: 18) menyatakan bahwa dalam ilmu sastra, feminisme ini berhubungan dengan konsep kritik sastra feminis, yaitu studi sastra yang mengarahkan fokus analisisnya pada perempuan. Jika selama ini dianggap dengan sendirinya bahwa yang mewakili pembaca dan pencipta dalam sastra Barat ialah laki-laki, kritik sastra feminis menunjukkan bahwa perempuan membawa persepsi dan harapan ke dalam pengalaman sastranya.

Feminisme merupakan kajian sosial yang melibatkan kelompok-kelompok perempuan yang tertindas, utamanya tertindas oleh budaya partiarkhi. Feminisme berupa gerakan kaum perempuan untuk memperoleh otonomi atau kebebasan untuk menentukan dirinya sendiri. Berupa gerakan emansipasi peTempuan, yaitu proses pelepasan diri dan kedudukan sosial ekonomi yang rendah, yang mengekang untuk maju.

Feminisme bukan merupakan upaya pemberontakan terhadap laki-laki, bukan upaya melawan pranata sosial, budaya seperti perkawinan, rumah tangga, maupun bidang publik. Kaum perempuan pada intinya tidak mau dinomorduakan, tidak mau dimarginalkan.

Sasaran penting dalam analisis feminis menurut Suwardi Endaswara (2008: 146) adalah sedapat mungkin berhubungan dengan: (1) mengungkap karya­karya penulis wanita masa lalu dan masa kini; (2) mengungkap berbagai tekanan pada tokoh wanita dalam karya sastra yang ditulis oleh pengarang pria; (3) mengungkap ideologi pengarang wanita dan pria, bagaimana mereka memandang diri sendiri dalam kehidupan nyata; (4) mengkaji aspek ginokritik, memahami proses kreatif kaum feminis; dan (5) mengungkap aspek psikoanalisa feminis, mengapa wanita lebih suka hal yang halus, emosional, penuh kasih dan lain sebagainya.

Selanjutnya muncullah istilah reading as a woman, membaca sebagai perempuan, yang dicetuskan oleh Culler, maksudnya adalah membaca dengan kesadaran membungkar praduga dan ideologi kekuasaan laki-laki yang patriarkhat (Sugihastuti dan Suharto, 2605: 19).

Membaca sebagai perempuan berhubungan dengan faktor sosial budaya pembacanya. Dalam hal ini sikap baca menjadi faktor penting. Peran pembaca dengan sendirinya tidak dapat dilepaskan dari sikap bacanya. Citra perempuan dalam karya itu mendapat makna/terkonkretkan sesuai dengan keseluruhan sistem komunikfsi ‘sastra, yaitu pengarang, teks, dan pembaca.

Reading as women menurut Suwardi Endaswara (2008: 147) adalah membaca sebagai perempuan. Peneliti dalam memahami karya sastra harus menggunakan kesadaran khusus, yaitu kesadaran bahwa jenis kelamin banyak berhubungan dengan masalah kenyakinan, ideologi, dan wawasan hidup. Kesadaran khusus membaca sebagai perempuan merupakan hal yang penting dalam kritik sastra feminisme.

Analisis novel dengan kritik sastra feminis berhubungan dengan konsep membaca sebagai perempuan, karena selama ini seolah-olah karya sastra ditujukan kepada pembaca laki-laki, dengan kritik ini muncullah pembaharuan adanya pengakuan akan adanya pembaca perempuan. Hal ini dapat dikatakan untuk mengurangi prasangka gender dalam sastra.

Kritik sastra feminis menurut Yoder (dalarn Sugihastuti dan Suharto, 2002: 5) diibaratkan quilt yang dijahit dan dibentuk dari potongan kain persegi pada bagian bawah dilapisi dengan kain lembut. Metafora ini mengibaratkan bahwa kritik sastra feminis diibaratkan sebagai alas yang kuat untuk menyatukan pendirian bahwa seorang perempuan dapat sadar membaca karya sastra sebagai perempuan.

Djajanegara berpendapat kritik ini melibatkan perempuan, khususnya feminis, sebagai pembaca. Yang menjadi pusat perhatian pembaca adalah penggambaran perempuan serta stereotipe perempuan dalam suatu karya sastra (dalam http: jurnal-humaniora. ugm. ac. id).

Kritik sastra feminis adalah studi sastra yang mengarahkan fokus analisisnya pada perempuan. Djananegara berpendapat bahwa kajian feminisme adalah salah satu kajian sastra yang mendasarkan pada pandangan feminisme yang menginginkan adanya keadilan dalam memandang eksistensi perempuan (Wiyatmi, 2006: 113).

Faham feminisme lahir dan mulai berkobar pada sekitar akhir 1960-an di Barat, dengan beberapa faktor penting yang mempengaruhinya. Gerakan ini mempenganihi banyak segi kehidupan dan mempengaruhi setiap aspek kehidupan perempuan (Sugihastuti dan Suharto, 2005: 6).

Feminisme lahir dengan tujuan mencari keseimbangan antara laki-laki dengan perempuan. Feminisme merupakan gerakan perempuan untuk menolak sesuatu yang dimarginalisasikan, direndahkan, dinomorduakan, dan disubordinasikan oleh kebudayaan, sosial, balk dalam bidang publik maupun bidang domestik. Dengan lahirnya gerakan feminisme ini, masyarakat mulai terbuka dan sadar akan kedudukan perempuan yang inferior.

Gerakan feminisme barat yang diwarnai oleh tuntutan kebebasan dan persamaan hak agar pars perempuan dapat menyarnai laki-laki dalam bidang sosial, ekonomi, pendidikan, dan kekuasaan politik. Mini telah banyak perempuan yang masuk kedunia maskulin dan berkiprah bersama-sama laid-laid. Sehingga banyak orang awam melabel feminisme dengan negatif. Kata feminis selalu dilekatkan dengan berbagai stereotipe negatif, misalnya perempuan yang dominan; menuntut, galak, mencari masalah, berpenampilan buruk, tidak menyukai laid-laki, lesbian, perawan tua (lajang), sesat, sekuler, dan sebagainya. Label negatif ini tidak hanya diberikan oleh laki-laki, namun juga kaum perempuan sendiri.

Hal itu sependapat dengan Mansour Fakih (2007: 78) pada umumnya orang berperasan bahwa feminisme adalah gerakan pemberontakan terhadap kaum laki-laki, upaya melawan pranata yang ada, misalnya institusi rumah tangga, perkawinan, maupun usaha pemberontakan perempuan untuk mengingkari apa yang disebut kodrat. Dengan kesalahpahatnan seperti itu maka feminisme kurang mendapat tempat di kalangan kaum wanita sendiri, bahkan secara umum ditolak oleh masyarakat.

Tujuan inti pendekatan feminisme menurut Djajanegara adalah meningkatkan kedudukan dan derajat perempuan agar sama atau sejajar dengan kedudukan serta derajat laki-laki. Perjuangan untuk meneapai tujuan ini menecakup beberapa cara, termasuk melalui bidang sastra.

Karya sastra yang bernuasa feminis menurut Suwardi Endaswara (2008: 146) dengan sendirinya akan bergerak pada emansipasi, kegiatan akhir. dari perjuangan feminis adalah persamaan derajat, yang hendak mendudukkan perempuan tidak sebagai objek. Maka kajian feminis sastra tetap memperhatikan masalah gender.

Feminisme adalah sebuah pahan yang berusaha memahami ketertindasan terhadap perempuan, dan mencari upaya bagaimana mengatasi ketertindasan itu. Oleh karena itu, seorang feminis adalah seseorang yang berusaha memahami posisi terhadap perempuan dan berupaya mengatasinya.

Menurut Kasiyan (dalam Sugihastuti dan Itsna Hadi Saptiawan, 2007: 86- 89) feminisme sebagai gerakan perempuan muncul dalam karakteristik yang berbeda-beda yang disebabkan asumsi dasar yang memandang persoalan­persoalan yang menyebabkan ketimpangan gender. Beberapa aliran yang terkenal dalam gerakan feminisme antara lain:

a. Feminisme Liberal.


Menurut Mansour Fakih (2007: 81) asumsi dasar feminisme liberal berakar pada pandangan bahwa kebebasan (freedom) dan kesamaan (equality) berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik.

Feminisme ini berusaha mempeduangkan agar perempuan mencapai persamaan hak-hak yang legal secara sosial dan politik. Mampu membawa kesetaraan bagi perempuan .dalam semua instansi publik untuk memperluas penciptaan pengetahuan bagi perempuan agar isu-isu tentang perempuan tidak lagi diabaikan.

Herman J. Waluyo (1998) berpendapat bahwa feminisme liberal memandang bahwa perempuan itu lemah dan kapasitasnya terbatas, sehingga tidak dapat berkembang. Perempuan tidak mendapatkan kesempatan untuk berkompetisi secara adil dengan pria. Karena itu feminisme liberal mengajukan gugatan agar diadakan pengendalian agar perempuan tidak dirugikan.

Kerangka kerja feminis liberal dalam memperjuangkan persoalan masyarakat tertuju pada kesempatan yang sama dan hak yang sama bagi setiap individu, termasuk di dalamnya kesempatan dan hak kaum perempuan (Mansour Fakih, 2007: 81).

b. Feminisme Radikal

Menurut Bhasin (dalam Sugihastuti dan Itsna Hadi Saptiawan, 2007: 97) feminisme radikal menganggap bahwa perbedaan gender bisa dijelaskan melalui perbedaan biologis atau psikologis antara laki-laki dan perempuan. Menurut aliran ini kekuasaan laki-laid atas perempuan, yang didasarkan pada pemilikan dan kontrol kaum laki-laki atas kapasitas reproduksi perempuan telah menyebabkan penindasan pada perempuan. Hal ini mengakibatkan ketergantungan perempuan secara fisik dan psikologis kepada laki-laki.

Feminisme radikal bertumpu pada pandangan bahwa penindasan terhadap perempuan terjadi akibat sistem patriarki. Tubuh perempuan merupakan objek utama penindasan oleh kekuasaan laki-laki. Oleh karena itu, feminisme radikal mempermasalahkan antara lain tubuh serta hak-hak reproduksi, seksualitas (termasuk lesbianisme), sekisme, relasi kuasa perempuan dan laki-laki, dan dikotomi domestik-publik. Pendekatan feminis radikal lebih menekankan bahwa ketimpangan hubungan gender bersumber pada perbedaan biologis. Perempuan memiliki kebebasan untuk memutuskan kapan is harus menggunakan atau tidak menggunakan teknologi pengendali reproduksi (kontrasepsi, sterilisasi, aborsi) dan teknologi pembentuk reproduksi.

Menurut Herman J. Waluyo (1998), feminisme radikal memandang bahwa perbedaan biologis menjadi sumber subordinasi. Karena itu pembebasan perempuan harus diusahakan dengan revolusi biologis­teknologis. Wanita tidak menderita berkepanjangan karena harus ber- KB, melahirkan, merawat anak.

c. Feminisme Marxis

Kelompok ini menolak keyakinan kaum feminis radikal yang menyatakan biologis sebagai dasar pembedaan gender. Bagi kaum ini penindasan perempuan adalah bagian dari penindasan kelas dalam hubungan produksi (Mansour Fakih, 2007: 86). Persoalan perempuan selalu diletakkan dalam kerangka kritis atas kapitalisme.

Menurut Marx (dalam Sugihastuti, 2007: 86) hubungan antara suami dan isteri serupa dengan hubungan antara proletar dan borjuis. Bahkan kaum perempuan menurut pandangan kapitalis, dianggap bermanfaat bagi sistemnya karena reproduksi buruh murah.

Pendekatan feminis marxis menjelaskan bahwa ketimpangan gender terjadi karena kapitalisme. Kapitalisme adalah tatanan sosial dimana pars pemilik modal mengungguli kaum buruh dan laki-laki mengungguli perempuan.

d. Feminisme Sosialis
Aliran ini menganggap bahwa konstruksi sosial sebagai sumber ketidakadilan terhadap perempuan. Termasuk di dalamnya adalah stereotipe-­stereotipe yang dilekatkan pada kaum perempuan. Menurut Mansour Fakih. (2007: 90) penindasan perempuan terjadi di kelas manapun, bahkan revolusi sosialis ternyata tidak serta merta menaikkan posisi perempuan

Menurut Herman J. Waluyo (1998), feminisme sosialis memandang bahwa kondisi perempuan ditentukan oleh struktur produksi, reproduksi, seksualitas, dan sosialisasi masa kanak-kanaknya. Kalau ingin memperoleh kebebasan, maka status dan fungsi dalam struktur harus berubah. Sikap rendah diri harus dirubah menjadi percaya diri.

e. Feminisme Moderat


Feminisme ini menurut Herman J. Waluyo (1998) memandang bahwa kodrat perempuan dan laki-laki memang berbeda, yang harus dibuat sama adalah hak, kesempatan, dan perlakuan. Karena itu yang penting adalah adanya hubungan yang sejajar antara perempuan dan laki-laki. Kemitrasejajaran ini merupakan pandangan pokok dari gender.

Karya sastra dapat disebut berperspektif feminis jika karya itu mempertanyakan relasi gender yang timpang dan memproniosikan terciptanya tatanan sosial yang lebih seimbang antara perempuan dan laki-laki. Tetapi tidak semua teks tentang perempuan adalah teks feminis. Demikian juga analisis tentang penulis perempuan tidak selalu bersifat feminis jika is tidak mempertanyakan proses penulisan yang berkenaan dengan dengan relasi gender dan perombakan tatanan sosial,

Menurut Nani Tuloli (2000: 89) pada umumnya semua karya sastra yang menampilkan tokoh perempuan, baik dalam ragam fiksi maupun puisi dapat dikaji dengan pendekatan feminisme. Yang dikaji dalam hubungan dengan tokoh perempuan adalah: (a) peranan tokoh perempuan dalam karya sastra itu baik sebagai tokoh protagonis maupun tokoh antagonis, atau tokoh bawahan; (b) hubungan tokoh perempuan dengan tokoh-tokoh lainnya yaitu’tokoh clan tokoh perempuan lain; (c) perwatakan tokoh perempuan, cita-citanya, tingkah lakunya, perkataannya, dan pandangannya tentang dunia dan kehidupan; (d) sikap penulis pengarang perempuan dan pengarang laki-laki terhadap tokoh perempuan.

Kritik sastra feminis bukan berarti kritik tentang perempuan atau mengkritik perempuan, kritik sastra feminis adalah kritikus memandang dengan penuh kesadaran bahwa ada dua jenis kelamin yang berhubungan dengan budaya, sastra, dan kehidupan (Muhammad Nurrahmat Wirjosutedjo dan Rachmat Djoko Pradopo, 2004).


Banyak kaum perempuan yang menerima ketidakadilan gender tersebut dengan wajar karena merupakan suatu takdir. Sebagai akibat dan sikap yang menerima keadaan ini, struktur sosial yang timpang ini akhirnya tidak hanya terus menerus dimitoskan oleh laki-laki, tetapi juga oleh perempuan. Hal tersebut juga berlaku pada kaum perempuan yang memiliki akses kekuasaan yang lebih tinggi.

Kelompok perempuan ini sering menempatkan perempuan sebagai subordinat. Berdasarkan pengalamannya memiliki pekerja perempuan itu lebih menguntungkan. Karena mereka rajin, telaten, tidak banyak tuntutan dan mempunyai loyalitas tinggi.

Persamaan hak yang sekarang digaungkan itu lama-kelamaan akan menimbulkan keadaan-keadan yang tidak cocok dengan kodratnya perempuan, lama kelamaan mereka bukan hanya meminta haknya saja tetapi persamaan dalam setiap hak. Misalnya dalam berpakaian dan bergaya. Inilah gambaran realita yang sekarang. jangan lupa tubuh perempuan itu berbeda sekali dengan tubuh laki-laki karena perbedaan itu berhubungan dengan kodrat perempuan. Kodrat perempuan adalah sebagai ibu. Dalam kedudukan itu perempuan adalah berdiri sejajar dan bersarnaan derajat dengan laki-laki misalnya dalam bidang pendidikan dan lain sebagainya.

Dalam kritik sastra feminis menurut Sugihastuti dan Suharto (2005: 23) bahwa konsep-konsep gender digunakan sebagai dasar analisis. Ada lima konsep analisis gender. Pertama, perbedaan gender ialah perbedaan dari atribut-atribut sosial, karakteristik, perilaku, penampilan, cara berpakaian, peranan. Kedua, kesenjangan gender ialah perbedaan dalam hak berpolitik, memberikan suara, bersikap antara laki-laki dan perempuan. Ketiga, genderzation ialah pengacauan konsep pada upaya menempatkan jenis kelarnin pada pusat perhatian identitas diri dan pandangan dari dan terhadap orang lain. Keempat, identitas gender ialah gambaran tentang jenis kelaxn.in yang seharusnya dimiliki dan ditampilkan oleh tokoh yang bersangkutan. Kelima, gender role ialah peranan perempuan atau laki yang diaplikasikan secara nyata.

Selain itu menurut Rutven (dalam Muhammad Nurachmat Wirjosutedjo dan Rachmat Djoko Pradopo ,2004) bahwa kritik sastra feminis antara lain menelusuri bagaimana perempuan direpresentasikan, bagaimana teks terwujud dengan relasi gender dan perbedaan sosial. Selain itu, kritik sastra feminis membicarakan bagaimana perempuan dilukiskan dan bagaimana potensi yang dimiliki perempuan di tengah kekuasaan partriarkhi dalam karya sastra.

Dan paparan di depan dapatlah disimpulkan bahwa feminisme adalah gerakan persamaan antara laki-laki dan perempuan di segala bidang baik politik, ekonomi, pendidikan, sosial dan kegiatan terorganisasi yang mempertahankan hak­-hak serta kepentingan perempuan

Daftar Pustaka :

Sugihastuti dan Suharto. 2002. Kritik Sastra Feminis: Teori dan Aplikasinya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Djajanegara, Soenarjati. 2000. Kritik Sastra Feminis: Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia.
Pradopo, Rachmat Djoko. 2007. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

0 comments:

Post a Comment