Info tentang pengetahuan ilmu Sastra Indonesia, Inggris, Arab, serta Budaya bangsa dan Usaha Ekonomi Masyarakat

Analisis Puisi dengan Heuristik dan Hermeneutik

Unknown

Analisis Puisi dengan Heuristik dan Hermeneutik - Pembacaan heuristik adalah pembacaan menurut sistem semiotik tingkat pertama, yaitu pembacaan menurut konvensi bahasa Indonesia. Pembacaan retroaktif atau hermeneutika adalah pembacaan ulang dengan memberikan tafsiran. Bacaan ini berdasarkan sistem tanda semiotik tingkat kedua, yang merupakan pembacaan berdasarkan konvensi sastra. Dengan demikian, karya sastra dapat dipahami tidak saja arti kebahasaannya, tetapi juga makna (significance) kesastraannya.

Analisis Puisi dengan Heuristik dan Hermeneutik

Untuk memaknai ungkapan tersebut, kita menganalisis salah satu sajak Chairil Anwar, sehingga dipahami analisi sajak berdasarkan gaya bahasa. Diperhatikan berikut ini.

Catetan Th. 1046

Ada tanganku, sekali akan jemu terkulai
Mainan Cahaya di air hilang bentuk dalam kabut,
Dan suara yang kucintai ‘kan berhenti membelai
Kupahat batu nisan sendiri dan kupagut
Kita – anjing diburu – hanya melihat sebagian dari sandiwara sekarang
Tidak tahu Romeo & Juliet berpeluk di kubur atau di ranjang
Lahir seorang besar dan tenggelam beratus ribu
Keduanya harus dicatet, keduanya dapat tempat.
Dan kita nanti tiada sawan lagi diburu
Jika bedil sudah disimpan, Cuma kenangan berdebu
Kita memburu arti atau diserahkan kepada anak lahir sempat
Karena itu jangan mengerdip, tetap dan penamu asah,
Tulis karena kertas gersang, tenggorokan kering sedikit mau basah
(Deru Campur Debu, 1959).

Pembacaan Heuristik

Karya sastra dibaca secara linier, sesuai dengan struktur bahasa sebagai sistem tanda semiotik tingkat pertama. Untuk menjelaskan arti bahasa bilamana perlu susunan kalimat dibalik seperti susunan bahasa secara normatif, diberi tambahan kata sambung (dalam kurung), kata-kata dikembalikan ke dalam bentuk morfologinya yang normatif. Bilamana perlu, kalimat karya sastra diberi sisipan-sisipan kata dan kata sinonimnya, ditaruh dalam tanda kurung sehingga artinya menjadi jelas, seperti pembacaan berikut ini.

Ada tanganku, sekali (waktu nanti) akan jemu terkulai, mainan cahaya di air (akan) hilang bentuk(nya) dalam kabut, dan suara (orang) yang kucintai akan berhenti membelai (diriku).(Oleh karena itu), kupahat batu nisan (untuk diriku) sendiri dan kupagut (kupasang di atas kuburanku)

Kita (pada hakikatnya) adalah anjing (yang) diburu, hanya (dapat) melihat sebagian dari sandiwara sekarang. (Oleh karena itu, kita) tidak tahu apakah Romeo dan Juliet berpeluk dikuburan atau di ranjang. (Hal ini disebabkan oleh) lahirnya seorang besar dan tenggelam (nya orang) beratus ribu. (Oleh sebab itu), keduanya harus dicatat (diperhatikan), keduanya (hendaknya) (men) dapat tempat (dalam ingatan kita).

Kita nanti tiada sawan (takut) lagi diburu (dikejar-kejar) jika bedil sudah disimpan, (maka yang tinggal) Cuma kenangan berdebu. (Kemudian), kita memburu arti atau (kalau tidak begitu) (nasib kita) diserahkan kepada anak yang sempat lahir.

Jadi, kita jangan mengerdip, tetap (lah waspada) dan asah (lah) penamu. Menulislah karena kertas gersang (kosong) dan tenggorokan (yang) kering mau basah sedikit.

Pembacaan Retroaktif atau Hermeneutik

Pembacaan heuristik itu baru memperjelas arti kebahasaannya, tetapi makna karya sastra atau sajak tersebut belum lengkap. Oleh karena itu, pembacaan heuristik harus diulang lagi dengan pembacaan retroaktif dan diberi tafsiran (dibaca secara hermeneutik) sesuai dengan konvensi sastra sebagai sitem semiotik tingkat kedua, sebagaimana berikut ini.

Judul ”Catetan Th. 1946” sebagai tanda menunjukkan waktu pasca Perang Dunia II atau waktu perang kemerdekaan Indonesia melawan penjajah Belanda, pada waktu orang Indonesia hidup penuh ketakutan.

”Ada tanganku”, sebagai tanda menunjukkan (pada waktu sekarang, masih muda, masih hidup), tetapi pada suatu ketika nanti aku akan kehilangan kekuatan (karena tua ataupun mati). Karena kekuatan itu, pendar-pendar air yang kena cahaya (mainan cahaya) akan tidak terlihat lagi karena mata pudar (hilang bentuk dalam kabut). Begitu juga, orang-orang yang kucintai akan tidak dapat mencintai dan menyayangi aku lagi (karena aku telah mati). Oleh karena itu, aku membuat karya yang hebat atau monumental (pahat batu nisan sendiri) sebagai tanda aku pernah hidup (kupagut).

Dalam waktu perang ini, atau waktu sukar ini, kita selalu terburu-buru dan terasa dihinakan (anjing diburu) dan tidak sempat melihat akhir kejadian atau akhir peristiwa yang terjadi. Apakah nanti akan terjadi akhir yang menyenangkan atau yang menyedihkan, bahagia atau terjadi ketragisan, kita tidak akan mengetahuinya (tidak tahu Romeo & Juliet berpeluk di kubur ata di ranjang). Hal ini disebabkan oleh seringkali terjadi bahwa muncul seorang besar, yang hebat, sebaliknya kemunculannya membawa kematian orang beratus ribu. Misalnya, pada waktu Perang Dunia II, muncul seorang tokoh hebat Adolf Hitler yang menyebabkan timbulnya Perang Dunia II dan beratus ribu orang mati terbunuh dalam perang itu. Kedua hal tersebut harus dicatat, diingat, diperhatikan, dan hendaknya kita selalu mengingat-ingat (keduanya dapat tempat) supaya kita selalu waspada.
Dari banyak sumber - semoga memberi kemanfaatan tersendiri - Analisis Puisi dengan Heuristik dan Hermeneutik

0 comments:

Post a Comment