Info tentang pengetahuan ilmu Sastra Indonesia, Inggris, Arab, serta Budaya bangsa dan Usaha Ekonomi Masyarakat

Konstruksi Wacana Budaya Jawa Acara Campursari Tambane Ati Tvri Jawa Timur

Unknown


Konstruksi Wacana Budaya Jawa Acara Campursari Tambane Ati Tvri Jawa Timur
Oleh : DEDIK BAIHAQI, 2010

PENDAHULUAN

Metode semiotik ini metode yang mengkedepankan interpretasi dan analisisnya bersifat kualitatif. Hal ini juga tidak dapat dilepaskan dari sifat analisis yang interpretative. Analisis ini mendasarkan diri kepada penafsiran peneliti pada teks, hal ini pada acara ini. Kekuatan dan kelemahan penelitian ini terletak pada interpretasi dan pemaknaan peneliti pada teks data yang diperolehnya. Unsur subjektivitas dalam menafsirkan suatu teks, pengalaman, latar belakang budaya peneliti, pendidikan, afiliasi politik bahkan keberpihakan mempengaruhi hasil interpretasi Semiotika pada dasarnya adalah ilmu tentang tanda

Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Semiotika pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek-objek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga menkonstitusi sistem terstruktur dari tanda (lihat Barthes, 1988: 179; Kurniawan, 2001: 53). Suatu tanda menandakan sesuatu selain dirinya, dan makna (meaning) ialah hubungan antara suatu objek atau idea dan suatu tanda. Tanda-tanda (signs) adalah basis dari seluruh komunikasi .

Tanda, dalam pandangan Pierce adalah sesuatu yang hidup dan dihidupi (cultivated). Tanda hadir dalam proses interpretasi (semiosis) yang mengalir. Kajian semiotika dapat dibedakan menjadi dua jenis, yakni semiotika komunikasi dan semiotika signifikasi. Semiotika komunikasi menekankan pada teori tentang produksi tanda. Sedangkan semiotika signifikasi memberikan tekanan pada teori tanda dan pemahamannya dalam suatu konteks tertentu. Objek kajian dalam analisis ini adalah acara televisi. Televisi adalah bahasa gambar, ada beberapa elemen yang bisa dilihat secara lebih detail. Salah satu elemen penting adalah pengambilan gambar yang dapat menandakan sesuatu, misalnya: long-shot, medium-shot, close-up, big close-up. Semua pengambilan gambar tersebut mempunyai makna tersendiri. Selain pengambilan gambar, bagian penting dari gambar adalah sudut pandang pengambilan gambar, apakah high angle-shot, low angle-shot, atau eye level-shot, masing-masing juga mempunyai makna yang berbeda. Elemen lain yang perlu diperhatikan adalah fokus dari pengambilan gambar, apakah tele-shot, standart-shot, atau wide-shot.

Ada tiga level analisis, yakni teks, discourse practice dan sociocultural practice. Level teks mempelajari tentang bagaimana representasi yang tercermin dalam teks. Level discourse practice mempelajari tentang produksi dan konsumsi dari teks. Bagaimana suatu teks diproduksi dan dikonsumsi. Sedangkan level sociocultural practice mempelajari tentang konteks, situasi dan lingkungan yang mempengaruhi produksi suatu teks. Dalam level ini budaya kerja, persaingan dan lingkungan eksternal dapat dianalisis. Penelitian ini hanya mengkhususkan diri pada level teks, yakni bagaimana acara “Campursari Tambane Ati” ditampilkan di televisi. Penelitian ini tidak mengkaji masalah proses produksi dan konsumsi pada level discourse practice dan tidak mengkaji situasi sosial pada level sociocultural practice. Penelitian ini juga tidak bermaksud mengkaitkan teks dengan discourse practice ataupun dengan sociocultural practice.


PEMBAHASAN


Acara “Campursari Tambane Ati” dikonstruksi untuk dapat menumbuhkan wacana elastisitas budaya Jawa. Kemasan acara tersebut menampilkan beberapa elemen seni budaya yang hidup di masyarakat, khususnya Jawa Tengah, Jawa Timur dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Perpaduan beberapa elemen seni budaya menjadi satu paket acara tersebut dapat dipakai sebagai sinyal adanya upaya untuk menunjukkan salah satu kekuatan budaya Jawa, yakni keluwesan/kelenturannya. Lebih dalam lagi ketika dilihat masingmasing elemen seni budaya yang ditayangkan dalam acara ini. Musik campursari misalnya, perpaduan antara instrumen musik diatonis dan pentatonik sangat serasi. Hal ini menandakan adanya sifat yang elastis dari instrumen-instrumen musik pentatonic yang berupa gamelan.

Dalam, instrumen musik gamelanpun ternyata ada yang mengalami perubahan tangga nadanya sehingga selaras dengan tangga nada diatonic untuk kepentingan penciptaan music yang merupakan perpaduan dua atau lebih jenis musik, sebagaimana music campursari ini. Terlepas dari pro dan kontra mengenai fenomena perubahan tangga nada pada gamelan ini, namun kenyataan menunjukkan bahwa adanya kreativitas seperti ini mendapatkan apresiasi tersendiri dari para pendukung musik gamelan. Tidak ada penolakan yang signifikan terhadap fenomena perubahan tangga nada pada instrumen music gamelan tersebut.

Hal ini menandakan adanya sifat elastis dari musik gamelan tersebut, yang juga menandakan adanya elastisitas budaya Jawa pada umumnya. Fenomena elastisitas seperangkat instrumen gamelan yang dilakukan oleh para kreator seni dengan memadukan konsep musik diatonis dan pentatonik menandakan adanya upaya untuk mempersatukan juga para pendukung budaya yang berbeda, dengan pertimbangan bahwa setiap produk budaya mempunyai pendukungnya masing-masing. Hal ini sekaligus juga menandakan adanya upaya untuk saling menghormati, bekerja sama antar para pendukung budaya yang berbeda tersebut sehingga tercapai kerukunan dan terhindar dari berbagai konflik.

Prinsip Rukun dan Hormat
Sebagaimana yang diungkapkan Hildred Geertz, bahwa ada dua kaidah yang paling menentukan pola pergaulan dalam masyarakat Jawa. Kaidah pertama intinya pada kerukunan, sedangkan kaidah kedua intinya adalah hormat. Kedua prinsi tersebut merupakan kerangka normative yang menentukan bentukbentuk kongkret semua interaksi. Rukun dan hormat menjadi prinsip hidupnya orang Jawa oleh karena itu banyak aktivitas yang dilaksanakan mempertimbangkan kedua prinsip hidup tersebut, termasuk kreativitasnya dalam berkesenian. Elastisitas budaya Jawa yang dikonstruksi dalam tayangan “Campursari Tambane Ati” mempertimbangkan prinsip kerukunan.

Prinsip kerukunan ini apabila dipakai secara bersama-sama dalam kehidupan sehari hari, termasuk juga dalam berkesenian akan melahirkan keadaan yang harmonis karena tidak sering terjadi ketegangan di dalamnya. Rukun berarti berada dalam keadaan yang selaras, penuh ketenangan dan ketenteraman, terbebas dari segala bentuk perselisihan dan pertentangan. Prinsip hidup yang selalu ingin bersatu untuk saling membantu. Tuntutan kerukunan merupakan kaidah penata masyarakat yang menyeluruh.

Segala hal yang dapat mengganggu keadaan rukun dan suasana keselarasan dalam masyarakat harus dicegah. Perlu diperhatikan dua segi dalam tuntutan kerukunan, yakni: Pertama, dalam pandangan Jawa masalahnya bukan sekedar penciptaan keselarasan sosial, melainkan lebih dari itu tidak mengganggu keselarasan yang diandaikan sudah ada. Kedua, prinsip kerukunan tidak hanya menyangkut suatu sikap batin atau keadaan jiwa, melainkan npenjagaan keselarasan dalam pergaulan. Yang diatur adalah permukaan hubungan-hubungan sosial yang kentara. Sedangkan yang perlu dicegah adalah konflik-konflik yang sifat-nya terbuka. Elastisitas budaya Jawa yang dikonstruksi dalam tayangan “Campursari Tambane Ati” mempertimbangkan prinsip “hormat” yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat Jawa.

Dengan pertimbangan bahwa masing-masing produk budaya mempunyai pendukungnya masing-masing dan agar tidak terjadi konflik antar pendukung budaya tersebut, maka tayangan ini diupayakan untuk dapat mengkonstruksi wacana elastisitas budaya Jawa dengan mengkedepankan prinsip hormat ini. Prinsip hormat berarti bahwa setiap orang dalam cara bicara dan membawa diri selalu harus menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain. Kedua prinsip tersebut menjadi pertimbangan bagi orang Jawa dalam bersikap dan bertindak, bukan hanya dalam aspek sosial kemasyarakatan, tetapi juga dalam berbagai segi kehidupan, termasuk dalam mengekspresikan seni budayanya. Prinsip rukun dan hormat menumbuhkan sikap elastis bagi orang Jawa. Hal ini menyebabkan juga orang Jawa mempunyai sifat lentur dalam berbagai segi kehidupan, baik segi sosial kemasyarakatan, budaya, politik, ekonomi, bahkan dalam bidang keagamaan. Terbukti dalam penyebaran agama di Jawa selalu bercampur dengan unsur-unsur agama lain, maka tidak aneh jika pemahaman keagamaan masyarakat Jawa sebagian menganut aliran atau berbau sinkretis.



Elastisitas Budaya Jawa Dalam Seni Karawitan


Istilah karawitan dikenal oleh masyarakat Jawa sebagai terminology yang memiliki pengertian musik (senisuara) yang menggunakan perangkat gamelan slendro dan pelog. Namun pengertian tersebut tidaklah bersifat statis. Beberapa kali mengalami perubahan, termasuk luas dan sempitnya ruang lingkup. Namun semuanya itu semakin menandakan bahwa memang seni karawitan mempunyai sifat elastis. Semula di dalam Kraton Kasunanan Surakarta, istilah karawitan mencakup pengertian yang lebih luas, termasuk di dalamnya pedalangan, tari, tatah sungging, dan ukir.

Dalam budaya Jawa, karawitan dibedakan menjadi dua jenis yakni karawitan vokal dan karawitan yang melibatkan seperangkat gamelan komplit slendro dan pelog. Karawitan vokal berbentuk Sekar Macapat, Sekar Tengahan, dan Sekar Ageng yang dalam penyajiannya tidak melibatkan perangkat gamelan Jawa. Repertoar karawitan vokal terdiri atas berbagai jenis sekar macapat, sekar tengahan, dan sekar ageng, serta lagu dolanan anak. Jenis-jenis sekar ini terutama macapatpada awalnya disajikan dalam bentuk waosan (bacaan). Isi teks yang terdapat di dalam ketiga jenis sekar tersebut beraneka ragam, sejak dari yang berbicara masalah pertanian, lingkungan hidup, moral, berperilaku sosial, doa, sampai kepada bagaimana memilih pasangan hidup.

Hampir keseluruhan makna yang terdapat dalam teks macapat berintikan amar ma’ruf nahi munkar. Banyak teks macapat berintikan ajaran moral dan budi pekerti yang ideal bagi kehidupan manusia dalam hidup bermasyarakat. Inti makna yang terkandung di dalamnya jelas-jelas sejalan dengan apa yang diamanatkan oleh agama. Oleh karena isi teks macapat seperti itu dan ketika disajikan terdapat tujuan untuk disimak, maka dalam budaya Jawa terdapat sebuah konsep untuk sajian lagu macapat yakni “lagu winengku ing sastra”. Artinya, dalam menyajikan macapat dalam bentuk waosan kejelasan sastra (artikulasi) lebih dipentingkan dari pada keindahan lagunya. Untuk itulah lagu macapat didesain secara sederhana, tanpa banyak memasukkan ornamentasi luk, wiled, dan gregel yang berlebihan.

Dengan konsep seperti itu syair-syair yang terdapat di dalamnya secara mudah dapat ditangkap oleh para pendengamya. Pada perkembangannya sekarang, sekar macapat tidak hanya disajikan dalam bentuk waosan saja, akan tetapi secara musikal telah berkembang menjadi gendhing, palaran, suluk dalam pertunjukan wayang, dan bawa. Perbedaannya dalam sajian ini lagu macapat telah mengalami pengolahan sesuai dengan keperluannya. Jenis karawitan Jawa lainnya yang sekaligus dikenal oleh kalangan masyarakat Jawa dan daerah sebarannya sebagai ciri khas musik Jawa adalah musik yang menggunakan seperangkat gamelan slendro danpelog. Repertoar-repertoar lagunya disebut gendhing. Gendhing adalah komposisi musikal yang terstruktur dalam sebuah bentuk. Oleh masyarakat karawitan Jawa, bentuk gendhing dikelompokkan menjadi tiga yakni bentuk gendhing alit (kecil), tengahan (sedang), dan ageng (besar). Dalam penyajiannya, gendhing dapat hadir secara instrumental dan/atau melibatkan vokal. Pada awalnya dalam budaya Jawa, karawitan Jawa (baca: music gamelan Jawa) digunakan dalam berbagai peristiwa budaya.

Karawitan Jawa terlahir dari sebuah Rahim budaya agraris tradisional di bawah sistem kekuasaan kerajaan. Ia merupakan pelengkap berbagai upacara ritual kerajaan dan sosial masyarakat Jawa. Dalam prakteknya ia dapat berdiri sendiri, dan atau hadir bersama sahabat seni tradisi lainnya seperti tari, wayang, dan jenis-jenis seni lainnya. Peristiwa karawitan yang berdiri sendiri (tidak terkait dengan jenis seni lainnya disebut klenengan (Surakarta) dan Uyon-uyon (untuk wilayah Yogyakarta). Vokabuler gendhing (komposisi musikal Jawa) yang disajikan disebut gendhing-gendhing klenengan/uyon-uyon.

Karawitan yang berkait dengan tari gendhing-gendhingnya disebut gendhing beksan. (baca: karawitan tari), sedangkan yang berkait dengan pertunjukan wayang disebut gendhing wayang (baca: karawitan pakeliran). Karawitan yang digunakan untuk menghormati suatu upacara atau peristiwa tertentu disebut karawitan pakurmatan. Karawitan tradisional Jawa dalam proses perjalanannya hingga mencapai bentuknya sekarang bukannya statis seperti yang dipahami oleh banyak orang. Sebenarnya, ia telah mengalami perubahan-perubahan dan beradaptasi terhadap dinamika kebudayaan sesuai dengan kebutuhan dan kemantapan estetik musikal masyarakat pendukungnya.

Potensi internal budaya gamelan apabila dikaitkan dengan elastisitas budaya Jawa sangat menarik. Hal ini disebabkan berbagai hal, antara lain: Pertama, potensi fisik dari instrumeninstrumen yang ada pada musik gamelan. Fisik instrumen gamelan yang beragam jenis, bentuk, ukuran, dan warna suaranya dapat dijadikan sebagai sarana memacu kreativitas para komponis dalam melakukan eksplorasi musikal. Kedua, keragaman vokabuler aransemen instrumentasi dan olah vokal merupakan idiomidiom yang dapat dikerjakan dan disusun untuk keperluan penciptaan. Ketiga, sifat gamelan yang terbuka dan lentur, memberi kebebasan para musisi, maupun komponis untuk menginterpretasi ulang karya-karya yang sudah ada baik untuk keperluan sajian, dan atau melahirkan sebuah kekaryaan baru. sifat itu pula, karawitan Jawa sangat akomodatif terhadap masuknya berbagai fenomena dan keperluan.

Kelenturan dapat dilihat pada keluwesan (fleksibilitas) dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan, secara akomodatif terhadap berbagai unsur yang masuk ke dalamnya. Proses menyesuaikan diri dengan lingkungannya, ditandai dengan munculnya berbagai ensamble-ensamble kecilseperti gadhon, cokekan, dan siteran, serta. Munculnya format ensamble kecil ini konon berkait erat dengan situasi dan kondisi masyarakat Jawa itu sendiri yang tidak sama kemampuannya.

Ketidaksamaan kemampuan masyarakat Jawa ini berkait erat dengan persoalan finansial dan tempat. Tidak mungkin semua anggota masyarakat Jawa pada waktu itu mampu memanfaatkan jasa karawitan dengan menghadirkan perangkat gamelan slendro dan pelog secara komplit, padahal terdapat keyakinan dalam masyarakat Jawa kalau mempunyai hajatan tidak menggantung gong dianggap kurang sungguh-sungguh dalam berhajatan. Untuk itu, kemudian muncul format-format ensambel gamelan kecil (hanya melibatkan 5-8 orang seniman). Selain itu seni karawitan,dalam hal ini musik gamelan dapat digunakan dalam berbagai keperluan, misalnya orang punya hajat berkaitan dengan kelahiran anak, perkawinan, khitanan, ruwatan dan sebagainya. Akomodatifnya dapat dilihat pada masuknya berbagai instrument musik non gamelan seperti yang sedang mengalami perkembangan menarik, yakni musik campursari saat ini.

Sebenarnya masuknya instrument terompet dan snare drum sudah ada pada zaman kerajaan, termasuk juga masuknya unsur-unsur agama dalam seni gamelan. Contoh ini dapat ditemukan pada proses kolaborasi antara para abdi dalem niyaga dan abdi dalem ulama di keraton Surakarta pada Zaman pemerintahan PB X. Kolaborasi dua kelompok abdi dalem ini, kemudian memunculkan jenis music Santiswara. Wujud musik ini merupakan unsur karawitan Jawa dan Islam. Unsur karawitaan terlihat pada penggunaan laras slendro dan pelog, serta komposisi lagunya, sedang unsur Islamnya terletak pada teksnya. Keduanya bersinergi secara harmonis tanpa ada yang dirugikannya. Justru mulai saat itulah khazanah musikalitas dalam karawitan Jawa semakin diperkaya, dan unsur agama terekspresikan dalam musik.

Di dalam karawitan Jawa apabila dicermati secara seksama mengandung nilai-nilai universal yang sangat relevan dalam kehidupan manusia. Nilai-nilai tersebut antara lain: nilai kemerdekaan, toleransi, dan nilai kebersamaan. Nilai kemerdekaan tercermin pada saat pemusik (pengrawit) melakukan intrepretasi terhadap balungan gendhing dan melakukan interpretasi terhadap lagu campursari yang diadopsi dari lagu-lagu non gendhing, misalnya langgam, keroncong, pop, dangdut. Dalam menginterpretasikan balungan gendhing atau notasi lagu, para pemusik (pengrawit) memiliki kebebasan dengan menggunakan kemampuan imajinasinya. Dalam perkembangannya yang sekarang, banyaknya kelompok musik campursari juga membuktikan bahwa nilai “kemerdekaan” semakin tampak. Hal ini dibuktikan juga dengan semakin banyaknya variasi lagu dalam musik campursari. Para pemusik dalam campursari diberikan kebebasan sepenuhnya dalam menginterpretasikan lagu, sesuai dengan kemampuan imajinasi dan naluri seninya. Nilai toleransi tercermin pada sikap saling pengertian di antara para pengrawit atau pemusik untuk tidak saling menonjolkan diri pada saat menabuh baik dalam hal keras, lirih, maupun iramanya. Untuk membangun sikap toleransi ini tidak mudah, mengingat dalam musik campursari instrument musiknya meliputi instrumeninstrumen diatonis dan instrumeninstrumen pentatonis. Selain itu ada instrumen elektrik dan non elektrik. Nilai toleransi dalam bermain music ini semakin membuktikan adanya elastisitas budaya Jawa. Nilai kebersamaan dalam music gamelan teraktualisasikan pada kekompakan para pengrawit dalam menuju pada titik tujuan akhir yang disebut seleh.

Dalam sajian musik campursari hal tersebut selalu menjadi pertimbangan para pemusiknya, baik pemusik yang memainkan instrument gamelan maupun pemusik yang memainkan instrumen non gamelan. Apabila terdapat salah satu pengrawit atau pemusik yang tidak setia untuk menuju ke titik akhir (seleh), dapat merusak tatanan harmonisasi dalam sajian gendhing atau lagu. Elastisitas budaya dalam seni karawitan memunculkan berbagai kreasi antara lain dalam bentuk: 1). Karawitan Kontemporer. Jenis karawitan kontemporer ini secara bentuk dan struktur, serta unsur-unsur lainnya sudah tidak lagi terikat pada unsur- unsur (aturan) yang terdapat dalam karawitan Jawa. Gamelan yang digunakan untuk sarana mengeskpresikan diri komponisnya, dipandang sebagai sumber bunyi yang dapat dieksplorasi sesuai dengan kehendak para komponisnya. Sumber ide penciptaannya diangkat dari persoalanpersoalan sosial, budaya, politik, dan agama. 2). Karawitan Bernuansa Religius. Pada akhir-akhir ini muncul beberapa komposisi karawitan yang kental nuansa religius. Para komponis yang memiliki latar belakang agama mulai bereksperimen dalam jalur ini dengan memasukkan sentuhan unsur agama ke dalam kekaryaannya.

Hadirnya musik campursari oleh sebagian kalangan dianggap sebagai kebangkitan musik tradisional. Musik ini merupakan campuran langgam Jawa dan beberapa jenis instrumen gamelan, atas hasil kolaborasi para seniman keroncong dan seniman karawitan. Awal kemunculannya, repertoar lagu yang disajikan seputar lagu-lagu langgam Jawa seperti lagu Kembang Kacang, Ngimpi, Yen Ing Tawang, dan instrumen yang digunakan merupakan perpaduan antara ensambel keroncong dan beberapa instrumen gamelan terpilih. Banyak kalangan pecinta seni gamelan ketika mendengarkan musik campursari memperoleh kenikmatan dan siraman rohani estetik musik yang menenteramkan. Namun dalam perkembangannya yang sekarang, seiring dengan pergeseran dan perubahan sosial yang terjadi di Jawa, campursari sudah menjadi sosok musik yang campur-aduk. Instrumen yang digunakan tidak lagi hanya terbatas pada instrumen keroncong dan gamelan, melainkan telah memasukkan instrumen bass gitar elektrik, keyboard, drums set, kendang sunda, banyuwangen, dan sebagainya.

Repertoar lagunya sudah tidak lagi hanya menyajikan repertoar lagu langgam Jawa saja, tetapi gendhing Jawa, lagu-lagu luar daerah, lagu pop, lagu dangdut, jazz, bahkan ada yang juga menyajikan lagu rock. Orientasi musikal lebih cenderung ke arah yang ramai. Beberapa di antara teks lagu terkesan simplistik dan vulgar. Meskipun demikian tidak ada yang salah dalam ekpresi seni, bahkan ini semakin membuktikan tingginya elastisitas budaya Jawa.

Elastisitas Budaya Jawa dalam Musik Bambu


Musik bambu adalah jenis music yang sebagian besar perangkat (instrumennya) terdiri dari instrument yang terbuat dari bahan bambu. Nama musik-musik bambu tersebut dibedakan menurut komposisi musik, jenis dan jumlah instrumen, serta fungsi dalam masyarakatnya. Jenis music bambu itu antara lain: Angklung, Calung, dan Bongkel. Jenis-jenis music bambu merupakan pengembangan dari musik Bongkel. Musik ini dimainkan pada saat para petani mulaibercocok tanam di ladang-ladang pertaniannya. Para petani bercocok tanam sambil bermusik bongkel. Teks yang digunakan dalam berbagai repertoar gendhing (lagu) calung menggunakan dialek Banyumasandengan pilihan-pilihan kosa kata yang biasa digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Teks tersebut dikemas dalam bentuk parikan, serta wangsalan. Isi teks mengandung makna yang beragam, sejak yang berbicara tentang moral, sampai dengan yang bernuansa jenaka. Aspek komposisi musikalnya merefleksikan kesederhanaan rakyat Banyumas dalam wujud, bentuk, dan struktur pendek-pendek.

Dinamisasi masyarakat Banyumas yang senang kerja keras, diwujudkan dalam irama dan aransemen musical yang selalu bernuansa dinamis, semangat, dan riang. Musik ini merupakan satu-satunya jenis musik bambu yang mampu bertahan hidup, dan mampu menyesuaikan diri dengan perubahanperubahan yang terjadi, akibat perubahan dinamika sosial budaya masyarakat pendukungnya. Oleh karenanya, musik ini bagi masyarakat Banyumas dijadikan sebagai trade mark, dengan sebutan “Calung Banyumasan”. Biasanya musik calung lebih sering tampilbersama kesenian Lengger dari pada tampil secara mandiri. Pada masa jayajayanya sekitar akhir tahun 1970-an sampai medio 1980-an. musik ini tidak hanya menarik minat bagi para seniman, akan tetapi juga mampu menarik minat para siswa, guru, dan pegawai.

Kesenian ini juga yang sering dipercaya oleh masyarakat dan/atau pemerintah Banyumas untuk mewakili daerah,dalam forum-forum regional, nasional, dan internasional. Sejalan dengan perubahan zaman dan pola hidup masyarakat di Jawa Tengah, penggunaan music calung di Banyumas juga mengalami perubahan. Keberadaan musik calung semakin terdesak oleh kehadiran alat musik yang lain. Menurut pengamatan di lapangan bahwa alat-alat musik lain yang mulai mengancam eksistensi musik calung dan jenis musik bambu lainnya adalah gamelan dan alat musik yang berasal dari manca negara. Repertoar gendhinggendhing (lagu) calung, sekarang lebih sering disajikan dan digarap dengan menggunakan perangkat gamelan dari pada menggunakan alat musik bamboo yang menjadi ciri khas calung. Bahkan mulai akhir abad 20 beberapa genre musik lain seperti keroncong, pop, gaya musik jaipong, langgam, ndangdut, telah berpengaruh secara signifikan terhadap keberadaan music calung. Fenomena yang terjadi sekarang bahwa kehadiran budaya music yang menggunakan keyboard semakin mendesak keberadaan musik calung. Hal ini dapat diamati dari pertunjukan- pertunjukan musik calung yang ada di wilayah Banyumas.

Sebagian besar penyajian musik calung beserta lenggernya telah memasukkan keyboard, dan kendang Sunda ke dalam pertunjukannya. Calung yang telah memasukkankeyboard menamakan dirinya sebagai kelompok musik calung modern”. Repertoar yang disajikan tidak lagi sebatas repertoar-repertoar gendhing (lagu) calung Banyumas, melainkan juga menghadirkan lagu-lagu Campursari, pop, dan ndangdut. Kelompok calung yang meniti jalan dan menjatuhkan pilihan seperti itu lebih berorientasi kepada aspek komersial. Alasan lain yang mengemuka adalah “memodernisir” musik calung, agar tetap dapat survive. Akibatnya, banyak dijumpai pertunjukan calung dan lengger yang telah berubah format pertunjukannya. Tari lengger dan musik calung yang semula menjadi warna pertunjukannya, berubah menjadi pertunjukan yang bernuansa ndangdutan.

Dari kenyataan itu jelas bahwa sekarang telah terdapat kelompok kelompok calung yang mengalami perubahan orientasi yang mendasar dalam pertunjukannya, yaitu dari yang semula bersifat ritual sosial bergeser ke arah profan. Hal yang perlu mendapat catatan adalah bahwa sebenarnya kehadiran keyboard dan berbagai genre musik ke dalam musik calung tidak sepenuhnya dapat diterima oleh para seniman tradisi. Banyak seniman dan tokoh calung Banyumasan yang hingga sekarang masih tetap setia mempertahankan musik calung, kendatipun dengan sebuah risiko kurang menguntungkan aspek finansialnya. Mereka berpendapat dengan sikap yang demikian, ciri khas dan citra musik calung yang menjadi kebanggaan masyarakat Banyumas dapat terjaga. Musik membran adalah jenisjenis musik yang sebagian besar instrumen yang digunakan sumber suaranya berasal dari getaran selaput kulit yang dibentangkan pada suatu bingkai.

Wujud instrumen yang sumber suaranya berasal dari getaran elaput kulit ini beraneka ragam bentuk, jenis dan ukurannya, di antaranya: trebang, genjring, rebana, jedhor, bedug, kendhang, kenthing, kenthung, dan ketipung. Kesenian yang menggunakan perangkat musik selaput kulit ini diasosiasikan dengan Islam dan/atau keprajuritan. Beberapa di antaranya diasosiasikan dengan laskar Pangeran Diponegoro. Warna keprajuritan dan/ atau keislaman dapat diamati dari penggunaan bahasa, busana, isi teks, gerakan, posisi saat menabuh, dan kapan ke kenian ini disajikan. Sementara musik sejenis ini yang hidup di daerah pesisir utara lebih kental warna Islamnya. Indikatornya dapat diamati pula dari penggunaan bahasa (teks), pesan teks, busana, dan saat kesenian ini disajikan. Kesenian ini biasa sebagai sarana dakwah agama, memperingati hari besar agama, dan untuk memompa semangat para kaum muda dalam hidup bermasyarakat. Masing-masing jenis kesenian ini iasanya melibatkan banyak orang pelaku dan ratusan pendukung yang secara efektif memiliki nilai silaturahmi, dan sekaligus berfungsi pula sebagai perekat sosial, sebagai arena menjalin hubungan dan pergaulan yang harmonis di antara warga masyarakat.

Kelompok musik yang menggunakan alat musik selaput kulit ini biasanya hadir dalam bentuk sebagaiberikut.

a. Shalawatan
Jenis musik ini mengutamakan sajian vokal bersama disertai beberapa sajian trebang dalam berbagai ukuran, dengan menggunakan teks yang berisi tentang ajaran moral dan puji-pujian yang bersumber dari ajaran Islam.Shalawat ini hadir dalam berbagai bentuk, komposisi dan dengan nama yang bervariasi pula. Nama-nama musik shalawat tersebut di antaranya adalah: Jamjaneng, mauludan, rodat, laras madya, santiswara, dan sebagainya. Bahasa yang digunakan dalam teks adalah bahasa Arab, Jawa, dan campuran (Arab dan Jawa). Bagi shalawatan yang menggunakan bahasa Jawa biasa disebut dengan shalawatan Jamjaneng, dan laras madya. Shalawat Mauludan hidup dan berkembang di daerah eks Karisidenan Surakarta.

Bahasa yang digunakan adalah campuran bahasa Jawa dan Arab. Syair-syairnya berisi tentang puji-pujian terhadap Nabi Muhammad SAW, serta tentang moralitas. Lagu-lagu jenis music shalawatan biasanya menggunakan laras (tangga nada) slendro seperti halnya laras slendro dalam perangkat gamelan Jawa. Dilihat dari teks dan laras yang digunakan, musik shalawat merupakan percampuran unsur budaya Jawa dan ajaran Islam. Terlihat antara budaya Jawa dan Islam mampu bersinergi dalam ekspresi musik. Untuk memberi gambaran yang lebih jelas lagi mengenai masalah itu, berikut ini ditampilkan judul-judul lagu yang ditayangkan selama bulan Ramadhan , antara lain:

Minggu I: Teroris, Shalawat ilir-ilir, Tol Semarang, Pulau Bali.
Minggu II: Campursari Tambane Ati, Shalawat dan Syahadat, Eling-eling Banyumasan, Eman-eman, Cinday, Mr. Mendem.
Minggu III: Tuhan, Tulisan tangan, Uler kambang, Potretmu, Susahe, Lg. Ngujiwat, Lenggang Surabaya. Minggu IV: Keagungan Tuhan, Mahameru, Jangkung kuning, Benci tapi rindu, Emaneman, Lara branta, Kujemu.

Dari judul-judul lagu di atas tampaklah bahwa acara “Campursari Tambane Ati”, khususnya bulan ramadhan dikonstruksi untuk menumbuhkan wacana elastisitas budaya Jawa. Instrumen yang digunakan juga memasukkan instrumen musik selaput kulit yang diasosiasikan instrument musik Islam. Selain itu pakaian yang dikenakan para penyanyi maupun pemusiknya turut mendukung wacana elastisitas budaya Jawa, karena mereka memadukan busana Jawa dengan Islam. Syair di bawah ini juga sering disajikan dalam musik campursari.

Gusti Allah kula nyuwun ngapura
Gusti Allah kula nyuwun ngapura
Sakathahing dosa kula, dosa alit
kalawan dosa ageng
mBoten wonten ingkang saget ngapura
mBoten wonten ingkang saget ngapura
Sakabehing dosa kula
Kajawi namung paduka

Sangatlah jelas bahwa inti dari teks tersebut memberi gambaran bahwa satu-satunya tempat meminta ampunan atas dosa-dosa yang telah diperbuat oleh manusia, hanyalah kepada Allah. Kandungan isi teks tersebut bersumber dari ajaran Islam. Di daerah-daerah (terutama pedesaan) musik semacam ini ternyata mampu hidup dan menyentuh berbagai lapisan masyarakat. Terdapat beberapa surau dan masjid yang memanfaatkan lagu vokal ini untuk keperluan pujipujian sebelum masuk shalat Maghrib dan Isya. Puji-pujian ini, biasanya dilantunkan menjelang shalat sekaligus berfungsi untuk menanti datangnya para jamaah. Berbeda dengan bentuk yang telah dikemukakan di muka adalah bentuk musik qasidah, hadrah, nasyid, dan samroh. Musik ini hidup secara subur di daerah pantura dan kelompok- kelompok masyarakat santri. Jenis musik ini seluruh teks yang digunakan adalah berbahasa Arab, dan menggunakan tangga nada yang mirip dengan Timur Tengah. Kehidupannya disangga khusus oleh para santri. Kesenian ini dalam perkembangannya terakhir memasukkan beberapa aliran musik terutama music pop dan dangdut. Hal ini dapat diamati pada pertunjukan-pertunjukan kelompok qasidah modern.

b. Seni yang Bernuansa Keprajuritan
Pada kesenian ini musik yang sebagian besar menggunakan alat musik selaput kulit, tidak berdiri sendiri, melainkan tampil bersama dengan jenis kesenian lainnya. Jenis kesenian ini melibatkan penari putra dan putri (massal), dari belasan hingga ratusan orang. Para penari menari dengan membentuk format barisan, dan melibatkan satu dan/atau lebih komandan/pimpinan. Setiap perubahan gerak dan posisi ditandai aba-aba dari komandannya dengan bunyi peluit, suara dan/atau gerakan. Penari berbusana ala prajurit Belanda, dankraton, bercelana pendek, persepatu, dan berkaos kaki. Gerakannya dinamis, sederhana, dan kompak. Nilai semangat dan kebersamaan tercermin sangat kental dalam kesenian ini. nKesenian ini hadir dalam berbagaivariasi bentuk, komposisi, dan nama. Nama kesenian jenis ini di antaranya: Prajuritan, nDoIaIak, Kobrasiswa, Soreng, Gangsir Ngenthir, dan sebagainya. Jenis kesenian inilah oleh masyarakat di daerah Magelang dan sekitarnya, diasosiasikan dengan lascar Pangeran Diponegoro. Dalam tayangan “Campursari Tambane Ati” Seni musik membran yang bernuansa keprajuritan terlihat dalam tayangan bulan ramadlan. Dalam tayangan tersebut instrumentasi dan aransemen lagu bernuansa Islam dan kaprajuritan. Selain itu semua pemusik, penyanyi dan pembawa acara mengenakan pakaian ala Laskar Diponegoro.


Kesimpulan

1. Tayangan “Campursari Tambane Ati” TVRI Jawa Timur merupakan kemasan acara yang dapat mengkonstruksi wacana elastisitas budaya Jawa.
2. Prinsip rukun dan hormat menjadi pertimbangan bagi masyarakat termasuk di dalamnya kreativitas dalam berkesenian.
3. Musik campursari merupakan perpaduan antara instrument music diatonic dan pentatonic (music gamelan, musik bambu dan music membran).
4. Elastisitas budaya Jawa dalam seni karawitan dapat terjadi karena: (a) potensi fisik dari musik gamelan, (b) keragaman vokabuler instrumentasi dan olah vokal, (c) sifat gamelan yang terbuka dan lentur. Elastisitas budaya Jawa dalam seni karawitan ini memunculkan karawitan kontemporer dan karawitan bernuansa religius.
5. Elastisitas budaya Jawa dalam musik bambu dapat dibuktikan dengan adanya musik campursariyang mengakomodasi instrument musik bambu (musik angklung, musik calung dan musik bongkel).
6. Elastisitas budaya Jawa dalam musik membrane terbukti bahwa trebang, genjring, rebana, jedhor, kendhang, bedhug, kenthing, kenthung, ketipung dapat dipadukandengan musik diatonis sehingga menjadi musik campursari.


Daftar Pustaka:

Amir Piliang,Yasraf. 2003. Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna. Yogyakarta : Jalasutra.
Bungin, Burhan. 2001. Imaji Media Massa : Konstruksi dan Makna Realitas Sosial Iklan Televisi dalam Masyarakat Kapitalistik. Yogyakarta : Jendela.
Cristomy, Tomy. 2001. Pengantar Semiotik Pragmatik Pierce : Non Verbal and Verbal dalam Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya. Jakarta : LP UI
Kurniawan. 2001. Semiologi Roland Barthes. Magelang : Tera

0 comments:

Post a Comment