Catatan Pinggiran Sistem Parlementer Dan Jabatan Adalah Kehormatan Atau Pengabdian
MEMBANGUN PARADIGMA BAHWA SISTEM PARLEMENTER DAN JABATAN ADALAH KEHORMATAN ATAU PENGABDIAN BUKAN AJANG MENCARI REZEKI
Sistem parlementer adalah sebuah sistem pemerintahan di mana parlemen memiliki peranan penting dalam pemerintahan. Parlemen memiliki wewenang dalam mengangkat perdana menteri dan parlemen pun dapat menjatuhkan pemerintahan, yaitu dengan cara mengeluarkan semacam mosi tidak percaya.
Sistem parlementer dibedakan oleh cabang eksekutif pemerintah tergantung dari dukungan secara langsung atau tidak langsung cabang legislatif, atau parlemen, sering dikemukakan melalui sebuah veto keyakinan. Oleh karena itu, tidak ada pemisahan kekuasaan yang jelas antara cabang eksekutif dan cabang legislatif, menuju kritikan dari beberapa yang merasa kurangnya pemeriksaan dan keseimbangan yang ditemukan dalam sebuah republik kepresidenan.
Sistem parlemen mempunyai kefleksibilitasan dan tanggapan yang tinggi kepada publik namun sering mengarah ke pemerintahan yang kurang stabil. Sistem parlemen biasanya memiliki pembedaan yang jelas antara kepala pemerintahan dan kepala negara, dengan kepala pemerintahan adalah perdana menteri, dan kepala negara ditunjuk sebagai dengan kekuasaan sedikit atau seremonial. Namun beberapa sistem parlemen juga memiliki seorang presiden terpilih dengan banyak kuasa sebagai kepala.
Kasus demi kasus tidak pernah berhenti menerpa para pejabat terhormat di negeri ini. Sepertinya Indonesia telah salah mengadopsi sebuah sistem untuk kesejahteraan rakyatnya. Justru sebaliknya, ketidakadilan terus terjadi. Para pejabat semakin terlihat bertambah jiwa kerakusan dan rakyat semakin dimiskinkan. Bukan sekedar anggota parlemen yang rakus, tapi sistemnya memang rakus.
Suatu kewajaran jika pejabat melakukan banyak modus untuk bisa . mendapatkan kembali nilai investasi yang sudah ditanamkan. Dimulai menjadi calo proyek, menjadi penentu alokasi-alokasi anggaran, menjadi broker, dll. Mau kita kritik sepedas apapun sepanjang paham politiknya adalah neoliberal seperti sekarang, kita tidak jalan menghentikan mereka. Pergantian anggota parlemen akan sama saja sepanjang pahamnya neoliberal. Paham inilah yang mengajarkan bahwa jabatan adalah investasi financial. Dan ini sedang diterapkan secara massif oleh pemerintah kita.
Kita bisa melihat bahwa rata-rata gaji mereka sekitar Rp. 62 juta, bahkan lebih. Menjabat selama lima tahunpun belum tentu bisa mengembalikan nilai invetasi mereka saat mencalon. Maka wajar kerakusan muncul, apalagi sistem ini memberikan kesempatan itu. Dilain sisi, ‘kerjasama jamaah’ dengan anggota, elemen pemerintah dan partai yang ada juga sepertinya terkondisikan mendukung, maka wajar jika sering terdengar bahwa dalam setiap kasus pasti melibatkan bukan hanya satu atau dua orang.
Terkait konteks alokasi anggaran, modus-modus seperti ini bukan hal baru. Apalagi sekadar jalan-jalan dengan modus tertentu. Itu juga hal-hal biasa aja. Masalahnya menjadi, apakah ini akan berhenti dengan kita kritik dengan mencari uang seperti itu atau kemudian kita punya alternatif lain untuk mengatasinya. Sepanjang paham politiknya adalah paham politik neoliberal, kita tidak punya alternatif lain.
Berganti anggota akan sama saja, karena paham politiknya sudah paham politik neoliberal dimana mereka harus mengeluarkan modal untuk mendapatkan suara. Lalu mereka menganggap modal yang mereka keluarkan harus mereka kembalikan termasuk keuntungannya. Karena itu mereka akan mencari uang untuk melunasi modalnya.
Problem besarnya bukan sekadar mereka rakus tetapi pada posisinya mereka adalah bagian dari sebuah sistem yang rakus. Karena itu mereka menjadi rakus, begitu melihatnya. Oleh karena itu yang harus kita bongkar bukan anggota parlemennyanya, tetapi bagaimana sistem yang rakus ini. itulah gambaran kapitalisme-materialisme selalu berkeinganan pada kerakusan itu. Selalu berkeingan memenuhi kerakusanannya, keserakahannya.
Dengan begitu sesungguhnya, apakah itu anggota dewan atau eksekutif di pemerintahan pada hakikatnya mereka sama-sama mencari cara untuk menjawab semangat memenuhi kerakusan dan tidak akan pernah puas melakukan itu. Situasi kaya gini akan berjalan terus sepanjang kita kehilangan contoh teladan yang baik. Kita tidak punya sistem membangun alternatif dan kita selalu berpedoman pada kapitalisme materialisme adalah hal yang sangat membanggakan.
Jadi jangan lagi melihat lagi pada persoalan anggota dewan yang serakah. Tetapi bagaimana kita mengatasi sistem yang serakah yang basisnya adalah kapitalisme materialisme itu sendiri. Sesungguhnya mereka rapuh dan tidak akan pernah sampai pada titik kepuasan itu.
Fenomena ini mengindikasikan ada yang keliru dengan sistem di internal partai maupun sistem berdemokrasi kita. Sistem pemilihan yang kian liberal misalnya, tak hanya menyebabkan biaya penyelengaraan tinggi, tetapi juga biaya politik (kampanye) yang sangat tinggi. Kandidat yang tidak memiliki modal cukup akhirnya melakukan transaksi dengan elit ekonomi (pengusaha penyandang dana politik) sebagai sponsor. Politik transaksional seperti inilah yang berlanjut pada politik balas jasa dan cenderung koruptif.
Selain itu, sistem rekrutmen yang tidak demokratis dan transparan cenderung memunculkan praktik politik uang dalam proses penjaringan di internal partai. Implikasinya sistem rekrutmen di partai dijadikan sumber pemasukan elite dan organisasi partai. Di titik inilah, korupsi anggaran dan keuangan daerah akan menjadi jalan pintas untuk mengembalikan kapital yang telah dikeluarkan para anggota legislatif dan kepala daerah.
Maraknya kasus korupsi yang melibatkan para politisi sangat mungkin juga berakar dari rapuhnya sistem pendanaan partai, baik pendanaan organisasi maupun pendanaan kampanye. Sistem pendanaan partai bermasalah mulai dari pemasukan, pengelolaan, hingga transparan pengeluaran.
Sistem pendanaan publik dan mekanisme iuran anggota yang seharusnya menjadi tulang punggung pendanaan partai justru tak jalan. Akibatnya sumber pemasukan pendanaan partai mengandalkan sumbangan dari pengusaha secara legal maupun illegal dan setoran kader dan pengurus yang menjadi pejabat publik (anggota legislatif dan kepala daerah). Pendanaan partai yang bertumpuh pada pengusaha inilah berkembang pada politik balas jasa dan relasi ekonomi-politik saling menguntungkan.
Pada situasi kebutuhan finansial sistem pemilihan berbiaya tinggi, rapuhnya sistem rekrutmen partai, serta pendanaan partai yang bermasalah inilah, mendorong terjadinya korupsi di parlemen dalam bentuk praktik percaloan anggaran dan permainan proyek pemerintah oleh anggota legislatif.
Selain melalui fungsi penganggaran, korupsi di parlemen juga merasuk dalam fungsi legislasi, dimana pasal-pasal dalam pembahasan di DPR kerap “diperdagangkan” secara diam-diam. Selain itu, para kepala daerah juga melakukan korupsi keuangan daerah. Karena itu, para politisi melakukan korupsi sejatinya tidak hanya disebabkan “kerakusan” untuk memperkaya diri pribadi, tetapi juga untuk mengisi pundi-pundi partai. Karena itu, mutlak diperlukan pembenahan sistem dan perilaku partai politik, baik dari dalam partai maupun dorongan dari luar melalui bangunan paradigma bahwa sistem parlemen dan jabatan adalah suatu kehormatan atau pengabdian terhadap masyarakat bukan ajang untuk mencari rezeki.
Dedik Baihaqi, 2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment